Berlawanan dengan apa yang dipercayai selama ini, sebuah penelitian menemukan bahwa tidak ada bukti sama sekali stres bisa menyebabkan stroke yang mematikan.
Penelitian yang dipublikasikan dalam jurnal Stroke ini, mencari korelasi antara kehidupan yang penuh stres dan pendarahan subarachnoid, atau pecahnya pembuluh darah yang menyebabkan pendarahan di sekitar otak.
Menurut Dr. Craig S. Anderson dari George Istitute Healt International dan Universitas Sydney di Australia, pada umumnya orang menghubungkan stroke dengan stres dalam kehidupan.
Dalam kasus pendarahan subarachnoid, tekanan darah yang meningkat secara tiba-tiba bisa menyebabkan pecahnya aneurisme – daerah lemah dalam dinding arteri. Hal ini kadang-kadang dialami sewaktu olahraga atau berhubungan intim, kata Anderson memberi contoh.
Namun tentang kesedihan dan hubungannya dengan stroke, masih belum diketahui jelas saat ini. Dalam studinya, Anderson dan rekan-rekannya mewancarai 388 korban selamat dari stroke jenis ini. Setelah di survey, ada 12 kejadian utama yang memicu stres seperti meninggalnya seorang saudara atau teman, kehilangan pekerjaan, atau shock karena menjadi korban sebuah kejahatan.
Respon ke 388 orang responden ini kemudian dibandingkan dengan mereka yang tidak pernah mengalami stroke. Hasilnya, secara keseluruhan, hampir semua peristiwa hidup yang penuh stres tidak menunjukkan hubungan dengan resio pecahnya pembuluh darah.
Dengan yakin Anderson dan kawan-kawannya menyimpulkan bahwa stres tidak berhubungan dengan stroke subarachnoid. Dan untuk penjegahan stroke jenis ini, sarannya adalah jangan merokok dan menjaga agar tidak mengalami darah tinggi. Karena menurutnya, dua hal tersebut lebih besar memicu stroke dibandingkan stres.
Sumber : Reuters